Awalnya aku pikir frugal living itu semacam ngirit lebih ke nelangsa. Ternyata tidak, konsepnya lebih luas apalagi diterapkan untuk kelola uang demi masa depan kita. Selain itu, yang paling jleb adalah frugal living bisa jadi jawaban fenomena flexing, insecure, peer-pressure yang belakangan ini menjangkiti kita semua, terutama generasi muda.
***
Perilaku “shopaholic” dan “shop’til you drop” telah menjadi hal yang lumrah di tengah budaya serba cepat dan instan saat ini. Tak dipungkiri, perilaku ini menghadirkan sifat konsumerisme sebagai akibat dari pembelian tidak terencana dan tidak disengaja yang dilakukan dengan cepat, saat itu juga, dan tanpa banyak refleksi.
Belakangan, muncul beberapa gagasan sebagai bentuk perlawanan atas pola konsumerisme yang serba tergesa. Konsep yang menentang kondisi konsumerisme pun terus digaungkan dan bergulir, salah satunya dengan hidup hemat melalui konsep frugal living.
Berbagai upaya kesadaran frugal living terus dipupuk agar kian mekar berkembang dan menjejak sebagai strategi dalam berekonomi. Konsep ini perlahan mulai banyak dilirik dan dinilai bisa menjadi jawaban atas masalah pengelolaan keuangan bagi mereka yang ingin tetap menikmati di tengah perlombaan kehidupan.
Frugal Living: Sebuah Seni Menikmati dan Menghargai Hidup
Konsep frugal living semakin santer diperbincangkan sebagai gaya baru berkehidupan. Terlebih belakangan trending salah satu pengguna TikTok yang membagikan kisah frugal living-nya dengan gaji tiga setengah juta per bulan. Dengan gaji tersebut, ia bisa membeli rumah dan mobil hanya dengan menerapkan selama dua belas bulan. Sontak banyak netizen bergejolak untuk julid tak karuan, dengan cetus yang dibeli mungkin bukanlah asli, tetapi rumah dan mobil mainan.
Terlepas dari kebenaran yang ada, keriuhan frugal living acap kali disamakan dengan gaya hidup pelit. Iya, miskonsepsi frugal living yang ada sekarang bergeser seperti ini: “orangnya pasti perhitungan banget ya”, “pasti makannya minta-minta tetangga”, “nggak bisa having fun”, “sukanya yang serba murah”, “hidupnya keras dan menderita”, “tidak fashionable”, “ngiritnya kebangetan kaya orang kikir”, dan lain-lain yang sejenisnya.
Padahal, nggak begitu juga konsepnya. Frugal living itu sebenarnya gaya hidup yang menekankan pada kesadaran, alias mindfulness, saat membelanjakan sebuah uang. Seperti kemana dan untuk apa uang tersebut dan benar-benar memprioritaskan sesuatu yang benar-benar penting. Termasuk dilakukan secara disiplin dan konsisten untuk bisa membedakan mana yang esensial mana yang tidak, sehingga akhirnya bisa meningkatkan nilai kualitas kehidupan.
Betul, frugal living bukan hidup pelit, tetapi selektif. Dalam hal ini, frugal living lebih beli kualitas, sedangkan pelit itu beli asal murah dengan kualitas ala kadarnya. Jadi bukan berarti karena frugal ya pokoknya serba yang murah, lalu adu hemat-hematan, kecil-kecilan pengeluaran, sampai tak peduli dan mengabaikan aspek sosial dan kesehatan. Bukan, bukan seperti demikian.
Sebagaimana penjelasan Lean Ingram lewat bukunya yang berjudul “Suddenly Frugal: How to Live Happier and Healthier for Less”, orang pelit seringkali takut membeli sesuatu sehingga mendorong pembelian barang yang murah, padahal barang murah tersebut memiliki kualitas buruk. Sedangkan penganut frugal living tetap bisa membeli barang yang mahal dan tidak akan menjadi masalah selama memiliki kualitas yang baik dan benar-benar dibutuhkan.
Dari sini terdapat hal yang perlu diluruskan, bahwa memang secara garis besar, hidup hemat menjadi inti dari konsep frugal living. Akan tetapi, bukan berarti mengurangi belanja kebutuhan secara signifikan, melainkan fokus pada kendali pengeluaran agar tidak lebih dari kebutuhan.
Pengalaman Pribadi dalam Menerapkan Frugal Living untuk Mengelola Keuangan
Salah satu manfaat memahami konsep frugal living, kita bisa menerapkannya dalam pengelolaan keuangan sehari-hari. Pengelolaan keuangan tidak dipungkiri telah menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap orang. Terlebih adanya pandemi, menyadarkan semua untuk dapat mengukur bagaimana kondisi keuangan pribadi, seberapa besar dana darurat yang dimiliki, dan seberapa kuat pondasi keuangan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Memang, setiap orang pastinya memiliki kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda-beda, tetapi tips dari pengalaman frugal living aku mungkin bisa menjadi referensi.
Langkah awal aku untuk menjalankan frugal living dalam pengelolaan keuangan adalah melakukan planning dan budgeting. Dimulai dengan mencatat secara seksama arus pengeluaran sehari-hari dengan bantuan aplikasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengeluaran riil yang dikeluarkan dan juga perhitungan kemampuan belanja yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam planinng dan budgeting, disini aku menerapkan strategi formasi. Iya, tidak hanya di sepak bola saja yang menerapkan strategi formasi seperti 4-3-3 atau 4-4-2, tetapi untuk kelola uang juga bisa diadopsi. Disini aku menerapkan strategi formasi 4-3-2-1.
Formasi 4-3-2-1 menurutku mudah diingat dan diterapkan dalam kehidupan. Gampangnya, 4-3-2-1 itu adalah pembagian pos berdasarkan presentase dari uang bulanan yang kita miliki. Dimana 40% aku alokasikan untuk biaya hidup sehari-hari, 30% untuk tagihan seperti kuota dan bensin, 20% untuk tabungan, investasi, atau dana darurat, serta terakhir 10% untuk aktivitas kebaikan.
Setelah planning dan budgeting, menjalankan frugal living tentunya harus memiliki tujuan tersendiri. Seperti aku yang menerapkan frugal living untuk mencapai kebebasan finansial di masa depan. Untuk mencapai kebebasan finansial yang semakin cepat, dalam pengelolaan keuangan dapat di sokong dengan alokasi dana untuk berinvestasi ke berbagai instrumen keuangan.
Seperti apa yang disampaikan Daisy Luther dalam bukunya “The Ultimate Guide to Frugal living: Save Money, Plan Ahead, Pay Off Debt & Live Well”, bahwa frugal living berarti sadar akan pengeluaran dan fokus pada beberapa prioritas keuangan. Cerdik mengatur keuangan, mengamati pengeluaran, mengontrol dan menyortir pengeluaran biaya-biaya yang kurang diperlukan. Di saat pendapatan berlebih, sebagian dana bisa ditabung atau diinvestasikan.
Mahasiswa, Frugal Living, dan Investasi
Jawabannya harusnya bisa. Meski masih berstatus sebagai mahasiswa yang belum mendapatkan penghasilan tetap, aku sendiri mencoba sedini mungkin untuk memulai berinvestasi dengan uang yang ada. Dalam hal ini, aku menjalankan konsep frugal living melalui penghematan biaya makan dengan memasak nasi sendiri yang dibawa dari rumah dan untuk sayur lauk tinggal beli saja.
Aku membeli sayur lauk lima ribu untuk sekali makan, atau lima belas ribu per hari. Sementara jika aku makan di warung biasanya rata-rata menghabiskan delapan hingga sepuluh ribu atau habis dua puluh lima ribu per hari.
Sekilas jika dilihat selisih antara memasak nasi sendiri dengan beli di warung hanya berkisar tiga sampai lima ribu saja. Tetapi jika diakumulasikan selama sebulan, ini cukup lumayan. Apabila aku makan di warung, aku memerlukan 750 ribu per bulan. Sedangkan dengan masak nasi lalu membeli sayur lauk sendiri, hanya menghabiskan 450 ribu per bulan, sehingga bisa menyisihkan sebesar 300 ribu untuk selanjutnya aku investasikan.
Dalam berinvestasi, aku jalankan rumus LSI, yakni singkatan dari Literasi + Skill + Idle. Literasi penting untuk menciptakan mindful investing dengan tahu profil risiko dan jenis-jenis produk investasi. Naik tingkat dengan skill, artinya aku perlu pengalaman mencoba sedikit-sedikit dan bertahap. Terakhir idle, bahwa uang yang aku gunakan untuk berinvestasi adalah uang yang nganggur dan bukan sekedar ikut-ikutan apalagi ngutang.
Kemudian agar tidak terjebak pada investasi bodong, aku menerapkan 2L, yaitu legal dan logis. Legal dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan jasa keuangan tersebut telah terdaftar dan berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara logis dilakukan secara selektif dan tidak mudah percaya dengan penawaran investasi yang menjanjikan iming-iming imbal hasil yang terlalu tinggi dalam waktu cepat.
Adapun dana 300 ribu yang didapatkan dari menjalankan konsep frugal living di atas, aku konsistensikan dengan alokasi 150 ribu pertama sebagai dana darurat yang ditempatkan pada reksadana pasar uang agar tidak tergerus inflasi. Sementara untuk jangka panjang, aku mencicil saham BRIS dengan metode dollar cost averaging yang rutin satu lot setiap bulan yang saat ini harganya masih terjangkau sekitar 150 ribuaan.
Dengan menerapkan frugal living, aku berfokus pada tujuan jangka panjang. Dampaknya, aku dapat mengurangi konsumsi yang berlebihan serta menghindari keinginan di atas kemampuan finansial. Menerapkan frugal living juga mengurangi stress dan berdampak positif pada kesehatan mental, karena aku telah mencoba mengubah rasa insecure maupun peer-pressure menuju hidup yang lebih secure.
Sekali lagi, frugal living bukanlah hidup dalam keterbatasan. Frugal living adalah seni mengelola uang agar jauh lebih bermakna, dengan ujung dari pengorbanan kita dapat merealisasikan impian maupun meningkatkan nilai kehidupan dimasa depan.
Add comment