Contest Solopos

Aku dan Mereka 2

IMG-20230918-WA0001
Cover by : canva + me

     Mereka bilang, hidupku terlalu lurus

     Lalu kata mereka juga, hidupku memang sudah enak dari lahir

     Kadang aku tertawa di keheningan saat mendengar kalimat-kalimat yang mereka lontarkan untukku. Nyatanya, mereka tak akan tau bagaimana ketatnya Ayahku dulu saat mengelola uang pengeluaran tiap harinya. Kadang saat memikirkannya, aku jadi ber-terima kasih pada masalah yang hadir di masa lalu.

     Sebelumnya, biar ku luruskan. Aku tidak lahir dengan sendok emas di mulutku, aku tidak lahir diantara gemilang harta orang tuaku. Bahkan hidupku jauh dari kemewahan harta bahkan tahta. 

     Semuanya bermula sejak aku masuk bangku menengah atas. Semuanya menjadi kacau dalam sekali kedipan mata, bahkan kilatan cahaya saja kalah dengan jungkir baliknya posisi ekonomi keluarga saat itu. Ayah yang mulai kesana-kemari bekerja membanting tulang bahkan kadang beliau terpaksa keluar masuk bank mencari pinjaman. Semuanya menjadi kacau dalam satu waktu. 

     Waktu itu aku menyalahkan mereka. Andai Ayah tak ceroboh, andai Ibu tak sok-sok ‘an ikut arisan sosialita, andai Kakak laki-laki ku tak suka mabuk-mabukan, bahkan andai adikku tak manja seperti sekarang mungkin keluargaku akan baik-baik saja.

     Namun kenyataannya, keluargaku tiba-tiba merubah jadi suram, tak ada tabungan tersisa sebab semua ludes membayar hutang sana-sini. 

     Lalu aku? Aku hanya diam dan menyalahkan mereka tanpa bercermin. Padahal, aku tak jauh beda dengan mereka yang suka jajan sana-sini. 

     Dari semenjak keluarnya kami dari zona nyaman. Ayah jadi semakin tegas, bahkan beliau memantau pengeluaran masing-masing dari kami secara berkala tiap harinya. Takut-takut malah membuat beliau tambah kepikiran dan berakhir sakit. 

     Ayah bilang, “Coba rubah pola pikir kamu, atur ulang pengeluaran dari hari ke hari. Mungkin sumber masalah kamu adalah kamu sendiri, ” tutur kata beliau lembut sekali. Aku tertegun dibuatnya, dari sana aku mulai melakukan apa yang beliau intruksikan. 

     Membatasi diri dengan mereka yang berpotensi membuat pengeluaran ku bertambah. Mulai berhenti belanja online secara berkala, berhenti untuk sering jajan diluar, bahkan berhenti untuk main-main tak bermanfaat dengan teman-teman. 

     Sampai hari dimana emosiku meledak tak tertahan. Hari dimana Ayah dan Ibu cekcok karena uang belanja harian yang makin menipis. 

     Aku yang kepalang marah kala itu membanting pintu kamar dan keluar. Menatap mereka dengan mata marah menyala. “Kalau semisal dulu Ayah nggak ceroboh, mungkin kita nggak akan kaya gini! ” teriakanku yang tak terkendali berhasil membuat pertikaian mereka terhenti. Tak ada rem untuk berhenti, ledakan sudah terasa di depan mata. 

     “Maksud kamu apa?! Balik ke kamar, sekarang! ”

     Aku menarik nafas, tak perduli dengan perintah Ayah kala itu, ku lanjutkan dengan suara lantang. “Kalau aja Ibu nggak ikut-ikutan arisan yang malah bikin kita jadi makin parah, mungkin kita nggak akan berantem kaya gini! ” Menatap wajah beliau nyalang tanpa takut mereka memarahiku sebab ikut campur dan melawan. 

     Beralih menatap Kakakku diujung ruangan, aku berteriak sekali lagi. “Juga kalau Kakak nggak suka minum-minum dan simpan uangnya, mungkin kita bakal ketolong sedikit! ” emosiku meledak. Menatap mereka semua muak. Seperti memuntahkan apa yang selama ini tertahan. 

     Merelakan masa remaja dengan masalah-masalah yang silir berganti kadang membuatku frustasi sendiri. Tak ada bahu untukku bersandar kala itu, bahkan tempat ceritaku mungkin adalah bayanganku sendiri. Kenyataan bahwa aku mungkin juga sumber masalah di keluarga ini sering mendorong ku untuk pergi jauh sampai menghilang tak tersisa. 

     Aku memukul dada beberapa kali menghalau rasa sesak. “Dan kalau aku bisa nabung sedikit-sedikit mungkin aku bisa bantu kalian, ” tangisanku pada akhirnya pecah. Ayah juga Ibu bergerak mendekati ku, merangkulku dengan nyaman dan menyalurkan ketenangan mereka. 

     Lontaran kata ‘maaf’ terucap berkali-kali dari mereka. Membuat tangisku makin menjadi-jadi tanpa terbendung. Rasa sesak juga berat ku rasakan dalam satu waktu yang sama, mereka masih memelukku bahkan semakin erat. Kami menangis satu sama lain hingga Kakak ikut bergabung disusul adikku dengan air terjun alaminya tak kalah membuat suasana pecah. 

     “Kita coba bersama. Mungkin ini teguran dari Yang Maha Kuasa untuk kita, ” Ayah kembali bersuara. Beliau mengecup pucuk kepalaku sayang juga kening Ibu sebagai tanda perdamaian. 

     Malam itu semua pertikaian di rumah mulai berkurang drastis. 

     Dan setelahnya kami mencoba bersabar. Membuka semua peluang agar kembali bangkit, mengelola semua pengeluaran juga pemasukan.

     Kami sadar memang bukan uang segalanya. Tapi beberapa bentuk pengeluaran ber pondasi kan uang pernah hampir membuat kami terpecah belah. 

     Dan sekarang kami masih sama. Masih saling menyemangati satu sama lain hingga berada di titik dimana semuanya bisa dikatakan kembali normal; tak ada lagi hutang yang menghantui tiap hari, tak ada lagi suara tinggi yang terdengar bersamaan suara bantingan perabotan rumah.

     Tabungan yang kami kumpulkan seiring berjalannya waktu mulai membantu menyelesaikan masalah-masalah yang menumpuk bak es di Gunung Everest. Kami bersyukur untuk semua yang telah terjadi, merubah kami dan masa depan nanti. Mengajari kami agar dapat menyeimbangkan diri diantara pengeluaran dan pemasukan. Membantu kami untuk terbiasa menyisihkan uang masing-masing demi masa depan bersama. 

     Semuanya telah selesai. 

     Terima kasih telah bertahan sejauh ini. 

 

-: ✧ :-

Karangan cerita fiksi Shinta Permata H. 

What’s your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Apakah anda menyukai artikel ini ?

@qrstuvwxzy

Bermimpi jadi pacar jihoon n crazy rich, aminin ya

Add comment