Contest Solopos

Merdeka Dari Informasi: Anak Muda di Pusaran Arus Transformasi Digital 0

low-angle-women-with-smartphones (1)_11zon

Obsesi akan hal-hal viral sementara dan kita yang tidak benar-benar merdeka

 

Inilah yang selalu terjadi: Kita ingin mengerjakan sesuatu, menyiapkan keperluannya, bukannya mulai mengerjakan sesuatu tersebut kita malah mengecek ponsel, sekadar mengecek barangkali ada notifikasi penting, ternyata tidak ada notifikasi, beralih ke media sosial, membuka linimasa, menemukan konten-konten menarik, scroll linimasa, berharap menemukan konten-konten menarik lainnya, barangkali dua sampai tiga postingan lagi baru mulai mengerjakan sesuatu tadi, menemukan konten menarik, melihat konten lainnya lagi, konten menarik lagi, ketagihan, yang sebelumnya berdiri menjadi duduk, yang duduk mulai bersandar, yang bersandar mulai merebahkan badan, lalu berakhir dengan kita lupa tadi mau mengerjakan apa, begitu terus sehari-hari sampai sesuatu yang awalnya ingin kita kerjakan tadi meningkat statusnya jadi pekerjaan mendesak, baru kita kerjakan.

Media sosial sungguh ajaib, bagaimana bisa ada sebuah portal yang mampu menampung seluruh hal menarik di dunia. Peristiwa, gagasan, ucapan, gambar. suara, apapun bentuknya, semua yang memanjakan (dan memenjarakan) manusia ada disana. Internet dan media sosial sudah menjadi keperluan bertahan hidup manusia modern, koneksi internet sudah termasuk dalam kebutuhan primer manusia. Tidak ada koneksi, manusia modern hidup sengsara.

Media sosial menjadi kebutuhan primer bukan karena sebuah asas, atau seperti makanan yang tanpanya manusia bisa mati, melainkan melalui sebuah kebiasaan. Kebiasaan manusia modern menggunakan media sosial dan internet membawanya pada tingkat ketergantungan. Apakah manusia bisa tetap hidup tanpa membuka media sosial? Tentu. Tapi hidupnya akan tidak optimal. Gelisah, Hidupnya tidak akan ‘hidup’. Media sosial adiktif, manusia kecanduan dengan apdet informasi. Sejam saja tanpa koneksi internet, tanpa informasi tentang orang lain, manusia modern merasa kesepian, merasa dikucilkan dan tidak terhubung dengan dunia.

Internet memangkas jarak dan waktu, informasi bukan lagi barang mahal karena kini bisa diakses hanya dengan sekali klik dan scroll scroll. Era dimana dunia serba canggih, arus informasi tidak bisa dibendung. Arus informasi bak banjir, bahkan tsunami yang tiap hari menghantam kepala manusia modern. Sama halnya dengan tsunami air, tsunami informasi juga menyapu manusia. Membawanya menuju dunia serba canggih, dimana informasi berseliweran. Di dunia modern ini informasi seperti tidak bernilai harganya. Tidak ada informasi yang benar-benar diinginkan manusia, sedetik dua detik muncul informasi baru, manusia juga ikut beralih ke informasi baru. Begitu seterusnya.

Diatas tsunami informasi, manusia terpaksa bertahan mengikuti arus, berusaha sebisa mungkin tidak hilang keseimbangan dan terjatuh. Tapi makin hari, arus informasi semakin menggila. Tsunami informasi membludak. Kebanyakan manusia kewalahan mengatasi derasnya arus dan kehilangan kendali atas kapalnya. Tinggal menunggu waktu. luapan informasi akan menghantam lambung kapal. Yang beruntung bisa selamat, terombang-ambing kehilangan arah di atas lautan informasi, yang tidak selamat akan tenggelam ditelan arus.

Kecanggihan teknologi, selain menciptakan efisiensi juga membawa serta konsekuensi zaman. Dampak-dampak yang belum ada di era pra modern, yang tidak dirasakan oleh orang-orang sebelum kita. Percepatan teknologi membuat gap antara generasi kita dan generasi orang tua kita semakin lebar, mereka tidak mengenal anxiety, tidak mengenal overthinking, dan belum ada yang namanya FOMO. Fear of Missing out, cara manusia modern membahasakan takut ketinggalan ‘perlombaan’ (manusia modern memaknai hidup sebagai sebuah kompetisi). Semua ini hanya terjadi di tengah fenomena tsunami informasi. Mereka-mereka yang kewalahan dengan informasi, tidak paham bagaimana cara menyikapinya, luapan informasi akan memenuhi kepala mereka, memberatkan kapal yang mereka naiki, dan menenggelamkannya ke dalam kebingungan, ketidakyakinan, ke merasa tertinggalan, dan ke-an, ke-an yang lain.

Boro-boro menantang Artificial Intelligence, melawan arus informasi saja kita kewalahan. Anxiety, burn out, overthinking, stres, dan FOMO adalah bukti kekalahan kita. Jangankan ingin menandingi kecerdasan buatan, melihat postingan pencapaian orang lain di media sosial saja kita ketar-ketir. Selama kita masih disibukkan dengan seluruh informasi di internet; perceraian artis ibu kota, kelakuan pejabat publik dalam negeri yang ash mbuh, berita tidak penting-penting amat dari belahan dunia lain, dan orang-orang tolol yang berdebat soal selera mereka di linimasa (tolol bener, selera kok diperdebatkan), jika semua itu masih mengambil alih pikiran dan waktu kita, jangan harap kita bisa melalui lonjakan teknologi ini dengan baik-baik saja. Berapa kali sudah kita gagal menyelesaikan pekerjaan kita hanya karena tergiur oleh informasi diskon dan promo barang incaran kita di marketplace, yang ujung-ujungnya juga hanya dibiarkan mengendap di keranjang?

Manusia modern seringkali lupa dengan hal-hal yang layak mereka dapatkan; ketentraman, ketenangan, ketidak tergesa-gesaan, hanya karena terlalu sibuk menyimak kebisingan dunia. Seluruh informasi yang ada kita cerna bulat-bulat. Kapal tidak tenggelam karena air yang mengelilinginya, sebuah kapal tenggelam karena air yang masuk ke dalamnya. Beberapa orang dengan sengaja mengambil ember, meraup buih-buih informasi dan memasukkannya ke kapal (kepala) mereka, yang akhirnya menenggelamkan mereka ke dalam bingung dan hilang arah. Beberapa orang yang lain memilih menjaga keseimbangan kapal mereka, buih-buih informasi tidak menggoyahkan mereka, mereka tidak mengambilnya kecuali yang seperlunya, sisanya mereka biarkan tertinggal di belakang. Mereka menikmati laut.

Beberapa waktu yang lalu kita fokus kita disibukkan dengan kehadiran temuan canggih bernama Chat GPT, Baru tahun lalu kita mendengar desas-desus akan pecahnya perang dunia ke-3 yang diawali dengan pertempuran antara Rusia dan Ukraina, di samping itu, yang tak kalah menghebohkan, ketika Tom Cruise kembali dengan aksi-aksi gilanya dalam sekuel film  Top Gun Maverick yang akhirnya dilanjutkan setelah film pertamanya dirilis 36 tahun silam. Di satu waktu, kita, masyarakat sedunia sama-sama menunggu informasi soal apakah Planet Mars bisa ditinggali oleh manusia, sambil tetap mengagumi single terbaru milik Girl Band kondang asal Korea, Blackpink. Masih ingat masa-masa ini? Ketika kita semua dibuat bingung apakah virus Corona benar-benar ada atau hanya rekayasa elit global yang ingin meraup keuntungan? Ketika itu kita masih mengurung diri di rumah masing-masing, mengoleksi masker dan membuat minuman bernama dalgona. Soal jurnalis asal Arab Saudi bernama Jamal Kashogi yang kehilangannya menggemparkan dunia dan dicari-cari oleh intelijen Amerika, masih ingatkah kita? Jauh sebelum jagat sepak bola tersenyum lega karena akhirnya Lionel Messi berhasil menjuarai Piala Dunia, kita pernah sama-sama dibuat terharu dengan perjuangan Cristiano Ronaldo ketika cedera di pertandingan final melawan Perancis, masih ingatkah kita itu tahun berapa? Dan kapankah kiranya Tiktok bisa sampai semasif ini? Bukankah sebelumnya para penggunanya dicecar habis-habisan?

Mengutip dari Simon Pitt, seorang penulis yang bekerja untuk BBC, “Dengan infrastruktur global kita yang dioptimalkan untuk mengirim meme dan pesan, obsesi kita menjadi semakin singkat. Sampai-sampai, jika anda mengambil cuti, anda akan melewatkannya. Di Twitter, cuitan menjadi viral dan dalam beberapa jam akan hilang, digantikan oleh cuitan lainnya dalam daftar panjang yang tidak ada habisnya. Buzzfeed menjelajahi internet untuk mencari konten-konten viral dengan cara yang sama seperti petani tulip mencari umbi pada tahun 1600-an. Akan sulit dipercaya pada saat ini, suatu hari nanti iPhone, Netflix, dan Facebook akan menjadi kenangan kuno, sebagaimana Baby Yoda, dan akhirnya akan dilihat sebagai keanehan sejarah seperti wabah menari*. Di masa depan orang-orang akan mengatakan, “Percayakah anda, dulu orang membawa komputer kecil dan menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya untuk melihat gambar-gambar kucing lucu dengan tulisan diatasnya?” Sejarawan masa depan mungkin akan tertawa sendiri, dan seperti kita, kembali ke obsesi mereka akan hal viral yang sementara”.

 

Beberapa waktu lalu, sempat ramai berita yang mengatakan sebuah toko buku di Jakarta tutup karena sepi pembeli. Kita pun kembali membicarakan perihal tingkat literasi dan minat baca bangsa kita yang rendah. Dari tahun ke tahun pertanyaannya selalu sama dan jawabannya belum juga ketemu sampai sekarang: “Bagaimana cara meningkatkan minat baca Masyarakat kita?”. Pandji Pragiwaksono, salah seorang komedian berpendapat, “bukan minat bacanya yang ditingkatkan, tapi minat akan suatu hal harus ditemukan”. Masyarakat kita, terutama generasi mudanya perlu menemukan apa sebenarnya minat mereka, jika mereka tahu apa yang mereka suka, mereka akan terus menggali kesukaan mereka, termasuk melalui buku. Saya kenal seorang teman, ia bukan seorang yang gila membaca, ia seorang penggemar sepak bola garis keras, tapi teman saya ini punya banyak koleksi buku soal sepak bola. Bukan minat baca yang membawanya melahap ribuan halaman buku itu, melainkan minatnya pada sepak bola.

Berbagai obsesi viral yang sifatnya sementara adalah salah satu penyebabn banyaknya dari kita yang kini masih bingung apa sebenarnya minat kita. Alih-alih bertanya minat, bahkan kita pun masih belum punya jawaban, jika ditanya: “Hal yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup?”. Sometimes we forget what we deserves, because we’re too busy listening to the noise of world, instead of our soul. Bagi generasi muda, sebagai konsumen utama produk teknologi digital, ini bisa menjadi momen kita. Kita bisa memilih untuk tenggelam dan terbawa arus informasi, perlahan-perlahan tenggelam dalam cepatnya dunia digital, atau kita memilih untuk belajar bertahan dan mengendalikan kapal. Alih0alih terbawa arus, kita justru membuat arus baru. Arus perubahan. Ini baru permulaan. Kita tidak tahu akan secepat dan semasif apalagi arus informasi di masa mendatang.

Hari ini kita merasa dimanjakan, padahal kita terpenjara. Zaman dimana kemewahan dipertontonkan dan orang-orang berlomba menjadi kaya, jauh di dalam bawah sadar, kita semua sebenarnya mengakui; kemewahan terbesar di dunia modern adalah kesederhanaan. Dalam konteks arus informasi ini, bisa berarti ketidakpedulian dan ketidak tergantungan dengan semua informasi-informasi gila diluar sana. Offline is the new luxury. Dunia semakin cepat, hal-hal menarik datang silih berganti. Dalam sekejap, hal yang menarik dan membanggakan akan jadi sesuatu yang usang dan tak ada gunanya. Sekali tercebur di dalamnya, kita akan sulit keluar, dan kehilangan tujuan kita, kebahagiaan kita, dan bisa saja kehilangan diri kita, Ada yang lebih mahal daripada keinginan yang tercapai, yaitu ketidak inginan sama sekali. Ketika kita memilih untuk tidak lagi diperdaya dan dihabiskan waktunya oleh semua informasi dan konten di dunia maya, ketika itulah kita sudah merdeka dari informasi.

What’s your Reaction?
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Apakah anda menyukai artikel ini ?

gibranosaurus

Mahasiswa

Add comment