Contest Solopos

Petarung Politik dan Digital Native 1

Effects of Social Media

Petarung Politik dan Digital Native

Oleh Yose Marstyanto

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 dengan jumlah mencapai 204.807.222 pemilih. Total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih atau 50% lebih. Generasi millenial dan generasi Z termasuk dalam kelompok digital native.  Kelompok ini sudah terbiasa dengan perkembangan teknologi, sehingga cepat beradaptasi dan merasa nyaman menggunakan alat digital. Mereka selalu mengikuti kecanggihan teknologi komputer, smartphone, dan internet. 

Separuh lebih jumlah pemilih muda menjadi target potensial bagi para petarung politik pada Pemilu 2024. Mereka menjadi tambang mendulang suara pada pesta demokrasi lima tahunan itu.  Calon-calon presiden, wakil presiden, wakil rakyat rata-rata adalah kelompok orang yang lahir sebelum 1980-an. Mereka biasa mendapat sebutan generasi X dan baby boomers. Kelompok ini juga disebut sebagai digital immigrant. Bagaimana digital immigrant mempengaruhi digital native dalam Pemilu 2024 adalah hal menarik menjadi perhatian.

Digital native bukan generasi yang anti politik. Mereka juga antusias dan bisa dibilang reaktif terhadap situasi negara yang mereka anggap tidak baik-baik saja. BEM UI secara terbuka mengundang para calon wakil presiden ke kampus UI untuk mereka bisa memaparkan gagasan sebagai pemimpin negara. Selebgram Awkarin membagikan 3000 nasi kotak untuk mahasiswa yang demo di depan gedung DPR/MPR September 2019. Bima Yudho Saputro, seorang tiktokers dengan akun @awbimaxreborn yang mengkritik pemerintah Provinsi Lampung berkait dengan pembangunan daerah tersebut April 2023 silam. Oleh karerna itu, seorang petarung politik tidak bisa begitu saja mematut-matut diri dengan citra manis dan di sisi lain dia memunculkan cerita buruk terhadap lawan politiknya. Digital native akan bisa mengkonfirmasi dan mengklafirikasi semua citra dan cerita itu dengan mudah.

Para petarung politik tidak bisa “semena-mena” dalam membangun narasi marketing untuk “menjual” diri mereka. Mereka harus berhati-hati supaya narasi memang bukan fiksi. Di balik setiap wajah pada media promosi outdoor dan media sosial memiliki kisah biografi masing-masing. Tim Pemenangan harus jeli menyusun cerita di balik citra. Digital native menyukai memverifikasi informasi. Sebagai generasi yang sejak lahir “bernafas” dengan perangkat digital, maka bukan hal merepotkan bagi mereka untuk melakukan pencarian di beberapa mesin pencari demi membandingkan hasil yang diperoleh dan mencari kebenaran.

Para petarung politik juga tidak memanfaatkan kepiawaian sebagian mereka di bidang IT untuk diajak bermain curang dan kotor dalam pemilu. Kita bisa belajar Pemilu 2022 di Filipina. Kabarnya, presiden terpilih, Bong Bong Marcos menang dengan cara curang. Ia mempekerjakan sejumlah orang untuk menjadi pasukan troll. Mereka mendapat tugas meningkatkan politisi tertentu dan merusak lawan politik. Mereka juga membagikan konten minimal 150 kali sehari untuk mempengaruhi opini publik. Operasi ini dilakukan lebih dari satu tahun sebelum pemilihan. Pertarungan di Pemilu 2024 harus dilakukan dengan bermartabat. Biarkan mereka tetap menjadi manusia yang menguasai tehnologi dan bermoral.

Digital native memang kelompok orang yang realistis. Ketika mereka menghadapi persoalan, mereka cenderung menjadi atau mencari solusi. Dunia maya menjadi ruang yang luas untuk mereka mencari apa saja yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, apa yang hendak ditawarkan oleh petarung poltik kepada mereka? Mengingat ada atau tidak ada pemilu, mereka sudah dan sedang sibuk membangun masa depan.

Meskipun digital native tampak seperti manusia yang menyukai hidup sendiri, tetapi mereka sebanarnya bukan berarti anti-sosial. Banyak aksi berkaitan isu sosial dan politik yang digerakkan oleh digital native. Pertemuan mereka di dunia maya ditindaklanjuti di dunia nyata. Mereka masih manusia yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Sehingga tak mengherankan konten-konten humanis masih banyak diciptakan dan sekaligus ada banyak pennontonnya. Demikian pula, mereka pasti juga lebih suka melihat kepala-kepala daerah (termasuk digital native) mengedepankan humanisme dalam menjalankan roda pemerintahan. Di luar perdebatan soal dinasti kekuasan, para petarung politik harus memunculkan dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak saja saat mereka berkampanye, tetapi lebih penting saat mereka berhasil menduduki kursi kekuasaan.

Digital native adalah aset penting, sehingga siapapun komponen bangsa harus menjaga sebaik-baiknya. Mereka bukan hanya komoditi politik menuju pemilu. Mereka menjadi bagian penting bagi kemajuan bangsa ini. Pemilu menjadi momen penting bagaimana digital native diyakinkan oleh para calon pemimpin bangsa tentang ke mana masa depan negara akan dibawa.  Para petarung politik harus memperhitungkan dan memeluk digital native sebagai pemilik masa depan. (ye)

 

 

What’s your Reaction?
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Apakah anda menyukai artikel ini ?

Yose

Seorang penulis lepas untuk berbagai topik tentan sosial dan budaya. Dia sesekali menulis puisi dan cerpen. Kegiatan kepenulisan rutin adalah untuk konten medsos di sebuah media daring.

Add comment