Contest Solopos

Literasi Untuk Indonesia Nanti 23

child-857021_640

Alkisah, dalam grup whatssapp saya, ada seorang doktor mengirim puisi yang konon merupakan puisi karya Taufiq Ismail. Puisi itu lantas dikomentari kawan saya, yang merupakan anggota grup. Ia menyatakan bahwa puisi yang diupload oleh doktor tadi bukan puisi Taufiq Ismail. Bahkan teman saya ini sudah mengonfirmasi kepada keluarga Taufiq Ismail dan menyatakan itu bukan puisinya. Betapa berbahayanya informasi yang tidak benar ketika diyakini sebagai sebuah kebenaran.  

Di tahun 2013, terbit sebuah buku bertajuk Mengenang dan Mengkaji Karya-Karya Chairil Anwar.  Buku tersebut ditulis oleh Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Dalam buku tersebut terdapat puisi yang konon oleh penulisnya disebut sebagai puisi Chairil Anwar. Saya kutipkan salah satu puisinya di sini : pernah aku ditegur/katanya untuk kebaikan/ pernah aku dimarah/katanya membaiki kelemahan/ pernah aku diminta membantu/katanya supaya aku pandai [Puisi Ibu].  Binhad Nurrohmat salah seorang sastrawan Indonesia menggugat buku tersebut lantaran puisi yang dikutip bukan puisi Chairil Anwar tetapi ditulis di buku sebagai karya Chairil Anwar.

Puisi yang didaku sebagai puisi Chairil Anwar yang dikutip oleh Dr Muhammad Rohmadi, M.Hum ini juga tidak menyertakan darimana sumber puisi tersebut diperoleh. Fatalnya, buku itu dijadikan semacam buku pegangan buat mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS). Pengetahuan seseorang tentang sesuatu ditentukan dari bacaan atau sejauh mana wacana yang dimiliki orang tersebut. Wacana atau pengetahuan seseorang dibentuk melalui aktifitas membaca.

Orang yang terbiasa membaca buku semakin luas medan arena pengetahuannya. Semakin luas ia meneroka suatu masalah atau topik tertentu dari sumber bacaan yang ia baca. Semakin orang menekuni satu bidang dan memperluas bacaan tentang bidang itu, ia semakin ahli. Semakin tinggi pengetahuan seseorang, ia semakin mampu menemukan “kebenaran”.

Dua fakta yang saya beberkan di atas adalah contoh nyata betapa peranan literasi amat penting dalam kehidupan kita. Orang yang berjalan dengan cahaya pengetahuan akan terang dan selamat, sementara orang yang berjalan di kegelapan tanpa tongkat akan buta dan tersesat. Literasi tidak ubahnya seperti itu.

Godaan Media Sosial

Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia semakin meningkat. Di tahun 2023, berdasarkan data yang dirilis oleh We are Social, pengguna Internet di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 5,02%. Jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 212,9 juta. Sementara itu, pengguna media sosial kita meningkat sebanyak 60,4 % atau sekitar 167 juta, terdiri dari pengguna facebook, Instagram, tiktok, twitter maupun snapchat.

Internet dan media sosial sudah seperti dua keping mata uang. Ia sudah menjadi keseharian dan turut serta menentukan pikiran kita. Nicholas Carr (2010) pernah menulis buku yang mengingatkan tentang betapa besar pengaruh internet dalam hidup kita. Buku itu bertajuk Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?. Dalam buku itu ditulis pengakuan seorang mahasiswa yang tidak membaca buku. Pengakuan itu diakui jujur dan ia memberi penjelasan bahwa di internet ia bisa menemukan apa saja melalui mesin pencari google.

Ada satu pengalaman yang menyedihkan saat mengetahui kawan saya seorang editor professional yang kini bekerja di Balai Bahasa. Ia diminta untuk menjadi editor bagi karya thesis temannya. Anehnya, seseorang yang meminta tolong untuk dieditkan karyanya itu mengutip internet. Dalam referensi atau sumber hanya ia tulis dikutip dari internet.

Membaca buku, membaca jurnal dan aktivitas literasi lainnya seolah menjadi aktivitas yang langka di era kini. Ketahanan membaca buku seseorang harus terganggu dengan notifikasi pesan dan juga notifikasi update terbaru dari media sosial kita. Kita menjadi gampang terkecoh, tidak berkonsentrasi lagi saat membaca buku.

Saya rasa ada benarnya saat Nicholas Carr menulis kalimat pendek, “Sebagai jendela kita untuk melihat dunia, dan melihat diri kita sendiri, media popular membentuk apa yang kita lihat, dan bagaimana kita melihatnya, —dan pada akhirnya, jika kita sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa diri kita, sebagai individu dan masyarakat.” Lebih lanjtu Nicholas menyatakan bahwa “Media meluncurkan sihir, atau kenalakan mereka, ke sistem syaraf.”

Survey Kemenkominfo bekerjasama dengan Katadata Insight Center (KIC) merilis data yang mencengangkan. Intensitas pengguna media sosial warganet Indonesia mencapai 6 jam perhari, rata-rata generasi Z (35%) dan generasi Y (26%).  Data ini menjadi penguat bahwa pengaruh internet dan media sosial amat vital.  Data ini juga menunjukkan ketergantungan kita kepada kecenderungan, pola pikir, serta apa yang dikonsumsi terhadap cara pandang kita terhadap suatu masalah tertentu.

Optimisme

Kita harus terus menaruh optimisme pada generasi muda. Catatan kritis tentang pengaruh dan bahaya internet patut jadi renungan bagi kita semua tentang pergeseran budaya literasi kita saat ini.  Namun, trend pergeseran budaya baca dari buku teks ke digital juga merupakan fakta yang tidak bisa kita pungkiri.

Pergeseran tradisi literer dari konvensional ke digital harus membawa perubahan yang penting dalam generasi muda milenial. Kita patut bersyukur, di tengah-tengah tantangan yang cukup kompleks, tingkat kegemaran membaca warga Indonesia meningkat di tahun 2022 yakni sebanyak 63,9 poin.

Penyadaran pada budaya literasi pada generasi milenial atau generasi muda saat ini menjadi penting di tengah arus informasi yang bergerak cepat. Dengan bekal literasi yang baik, kita sebenarnya sedang menyiapkan senjata untuk mengatasi berbagai problem masyarakat masa depan.

Perang di tahun-tahun mendatang tidak hanya perang dengan bom atom semata, tetapi perang melalui informasi, perang yang memerlukan pengetahuan sebagai senjata. Inilah pentingnya literasi baik di dunia digital maupun di dunia kita saat ini.

Percayalah, tidak ada kemajuan suatu bangsa yang dibangun tanpa pondasi literasi yang kuat yang mengakar di dalam tubuh dan jiwa warganya.

 

What’s your Reaction?
+1
17
+1
1
+1
16
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Apakah anda menyukai artikel ini ?

arifyudistira

Arif Yudistira, Kolumnis, tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh SD MBS Yogya

8 comments