Ia terjatuh dari langit
Ia terperangkap di hamparan pasir
Pasir… atau hamparan kilau timah?
Pada sisi mercusuar
Membenturkan paruhnya cukup keras hingga mengeluarkan darah
Apa mereka yang di luar selalu melihat ke dalam?
Akankah mereka membantunya?
Karena ia mengetuk, mengetuk, mengetuk kaca
Camar itu, melambaikan tangan
Ia mencoba berbicara, tetapi tidak ada yang bisa mendengar
Ia tetap menunggu jawaban
Sementara itu, ia melihat, melihat, melihat
Adakah yang bisa melihatnya? Apakah ada yang melambaikan tangannya?
Pantai menjadi alasan kami untuk melarikan diri dari hiruk pikuk kota. Hari itu, aku melihat lirihan adikku, ada apa ku tanya.
Mengapa ia menggali sebuah dangkal di pasir? Tidak benar-benar sebuah lubang tetapi lebih mirip mangkuk dangkal, yang dibuat oleh jejak kaki yang sangat kecil dari beberapa burung kecil.
Di sana ia bertengger, di dalam sarangnya yang terbuat dari pasir, atau begitulah yang terlihat. Sebuah tempat perlindungan?
Adikku melihat ke arah ku, “Mbak, dia berdarah!”
Aku menghampirinya dan bertatapan. Warna merah penarik perhatian merembes dan merambah ke bulu-bulunya yang putih berkilauan. “Oh, ya ampun!” Perlahan-lahan, aku turut berlutut di pasir di sampingnya.
Ia tetap terdiam, tidak bergerak. Siapa sangka mata burung camar menyimpan keindahan seperti itu? Kedua mata itu berkilauan mengamati mataku.
“Aku turut bersedih atas apa yang terjadi padamu,” bisikku, suaraku berat bersimpati. “Terluka, berdarah, dan sendirian. Aku harap kamu memiliki banyak hari yang dipenuhi dengan sinar matahari, hangat membersamaimu, dan angin membawamu terbang kemanapun kau mau.”
Ia menatapku dalam diam, dadanya yang kecil naik dan turun.
Pada saat itu, aku menyadari bahwa ia pun makhluk hidup, tidak jauh berbeda denganku dan adikku, dengan detak jantung yang tidak jauh berbeda dengan jantungku. Bersama dengan adikku, kami berlutut di pasir yang tidak biasa menyaksikan kejadian tidak menguntungkan hasil keegoisan dari keberadaan makhluk lain.
Akhirnya, burung cantik itu menghela napas, dadanya naik turun sekali lagi. Ia bergidik, bulu-bulunya berdesir.
Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia memalingkan wajahnya.
Waktu seakan tak berujung saat kami terus terjaga, matahari perlahan beringsut melintasi langit, menciptakan bayangan memanjang di pantai berpasir. Hari yang Panjang dan kehidupan camar yang bengis.
Add comment