Contest Solopos

Melihat Jadi Menghemat 2

Semuanya telah berubah sejak bangkrutnya perusahaan. Keadaan ekonomi di keluarga semakin memburuk ketika ayahnya lebih memilih untuk tidur lama di bawah tanah. 

Ale menguap mendengar ceramahan ibunya yang mengharuskan dia untuk berhemat. Sungguh, Ale muak mendengarnya. Dia sebenarnya juga ingin berhemat, tapi apa daya jika keadaan memaksanya untuk membeli sesuatu yang seharusnya tidak ia beli.

“Iya, Bu, aku tau. Aku akan mulai berhemat besok,” ujarnya malas. 

Sang ibu mendengus kasar mendengarnya. “Kau ini, dari dulu bilangnya berhemat, berhemat, berhemat, tapi, apa buktinya? Nihil! Dengar, Ale, sekarang ini, ekonomi keluarga kita tidak seperti dulu. Kau jangan menghamburkan uang mu.”

Ale memilih diam sembari mengunyah nasinya. Meneliti sekitar, menyadari bahwa ada yang kurang. “Ala sama Alu dimana, Bu?” tanya gadis itu setelah menyadari bahwa kedua adiknya tidak ada. 

“Alana kerja kelompok di rumah temennya, kalau Aluna sedang pergi ke warung buat beli gula,” jelas ibunya. Ale menganggukkan kepalanya mengerti. “Sudah, selesaikan makan mu cepat. Setelah itu, bantu ibu untuk menjual kue-kue ini.”

“Siap, Bu!”

***

Ale mengaduk bekalnya tanpa minat. Sungguh, kepalanya mau pecah. Tak habis-habis, ibunya sekarang sedang sakit, dan dia terpaksa harus menghandle semuanya, plus mengurus ibunya. 

“Woy, Ale.”

Ale menyuapkan makanannya, mengunyahnya dengan ogah-ogahan. “Alena Cahaya Wijaya.” Ale menoleh, menatap tanya kearah Fani. “Kuping lo udah bolot, ya?! Dari tadi gue panggil gak nyaut-nyaut,” omel Fani.

“Ya mangap, lagian lo manggilnya kurang keras, sie, kan gue jadi gak denger,” protesnya membela diri. Fani menggeleng mendengar perkataan sahabatnya itu.

“Padahal Fani udah teriak sampe anak kelas sebelah nengok,” sahut Sera yang saat ini sudah duduk di depan Ale. 

“Baru sekali juga,” Ale kemudian menatap Fani. “Sorry, ya, Fan.”

“Kenapa lo? Tumben diem,” tanya Sera sembari mengunyah roti strawberry nya. 

“Nyokap gue sakit,” jawabnya singkat. 

Fani mengernyitkan keningnya. “Terus, apa masalahnya?”

“WEE …!!” seru Ale dan Sera secara bersamaan. 

“Parah lo Fan, nyokap sakit terus lo tanya apa masalahnya? Gila, ya, lo?!” sentak Sera yang langsung diangguki oleh Ale. 

Fani mengangkat bahunya tak peduli. “Masa bodo, toh, yang dipikirin nyokap gue cuman kerja, uang, sama kliennya,” jawabnya santai. 

Semuanya terdiam mendengar perkataan Fani. Ale lalu berdiri yang membuat semuanya berdiri. Gadis itu kemudian merentangkan tangannya, disambut oleh kedua sahabatnya. Berpelukan.

“Kita adalah cewek-cewek hebat nan kuat, solehot, dan perfecly!”

HEALPER …?!”

“Jaya, kaya, sempurna!!”

Mereka semua kemudian tertawa bersama dan duduk kembali. “Eh, guys, tutor biar cepet kaya, dungkss,” ujar Ale sembari mengutak-atik ponsel miliknya. 

“Ngepet,” jawab Fani cepat. 

Astaghfirullah,” balas Ale. “Tidak boleh, haram, bestie.”

“Jadi simpanan om-om kaya,” usul Sera.

“Nah, betul, tuh,” setuju Fani. “Bayangin, Le, lo jadi simpanan om-om, tanpa lo minta, dia bakalan ngasih lo duit.”

Ale memutar bola matanya jengah. “Punya bestie sengklek semua, deh. Duhai teman-teman ku yang cantik, kece badai, dan penyayang, lo semua gak kasian sama gue? Kalo gue diapa-apain sama om-om gimana? Lo semua gak khawatir sama gue yang cantik, baik hati, serta tidak syombong ini?” cecarnya

“Lah, kan emang tugasnya diapa-apain,” sahut Sera seenaknya, gadis itu kemudian mengaduh saat lengannya di cubit oleh Ale.

***

Ale menyuapi bubur ke mulut ibunya. Penyakit ibunya semakin hari bukannya semakin membaik malah justru sebaiknya. Ah, sepertinya dunia memang sedang ingin mengajaknya bercanda. 

“Udah,” lirih ibu dengan nada pelan. 

Ale mendecakkan lidahnya. “Ibu harus makan yang banyak. Biar cepet sembuh. Biar bisa ngurusin kita lagi,” tutur Ale dengan panjang lebar. 

“Alena Cahaya Wijaya,” panggil ibunya lembut. 

Ale tau kondisi ini. Ibunya pasti ingin membicarakan hal serius kepadanya. “Ya, ada apa, Bu?” 

“Ibu sudah sakit-sakitan, ibu rasa umur ibu suda-“

“Ibu itu sehat!” potong Ale cepat, kedua bola matanya berkaca-kaca. “Ibu pasti sembuh. Ibu sehat, Ibu akan menemani ku, Ala, sama Alu sampe dewasa.”

Sang ibu menarik tangan Ale, menggenggamnya lembut seraya tersenyum kearah putri sulungnya itu.

“Kau sudah semakin dewasa saja, ya, Alena. Itu berarti, ibu sudah semakin tua. Alena, kau tau ‘kan setelah kepergian ayahmu, ekonomi keluarga kita semakin tidak stabil.”

“Alana, maafkan ibu, Nak. Sepertinya, setelah lulus SMA, kau tidak bisa kuliah. Maafkan ibumu ini, Nak.”

Alana menganggukkan kepalanya mengerti. “Sudah, jangan dipikirkan, Bu. Yang terpenting saat ini adalah, Ibu harus sembuh dan sehat.”

Sang ibu mengangguk. “Tolong panggilkan kedua adekmu,” pintanya dengan nada lirih. 

Ale lantas mengangguk dan segera pergi untuk memanggil kedua adiknya. Pertama, dia akan pergi ke kamar Ala dahulu, karena adiknya itu paling gampang untuk diajak kemana-mana. Sekali pun Ale mengajak Ala ke warung depan rumah pun, dia akan tetapi mau. Sangat berbanding terbalik dengan Alu.

“Ala, ini Kakak,” setelahnya, Ale langsung masuk. Gadis itu mendapati sang adik tengah fokus belajar. Bukunya tertata rapi, memang si paling rapi.

Tanpa basa-basi, Ale langsung lompat ke kasur Ala. “Ala, dipanggil ibu. Ala, dipanggil ibu …!!” serunya dengan melompat-lompat di atas kasur seperti anak kecil. 

Ala berdecak kesal. “Kau membuat kasurku berantakan, Kak!” ketusnya

Ale berhenti melompat, dia langsung duduk bersila di depan Ala dan tersenyum tanpa dosa. “Kau dipanggil ibu.”

“Terus?” 

“Ya, gak terus, oh, terus kamu ikut aku ke kamar Alu buat seret dia ke hadapan ibu,” jelas Ale. 

Mereka kemudian pergi menuju ke kamar Alu. Saat baru sampai ke depan pintu kamar Alu, suara musik sudah bisa di dengar. Tanpa mengetuk pintu, Ale langsung membuka pintu itu dengan paksa. 

“Aluna Citra Wijaya …!!” seru Ale, namun karena suara sound yang keras, membuat gadis itu tak mengindahkan panggilan kakaknya. 

Karena geram, Ale langsung membanting sound mini itu hingga hancur berantakan. Alu menatap kakaknya itu dengan tajam. 

“Kau gila, ya, Kak?! Ini tuh harganya mahal! Terus, kau banting gitu aja? Fuck.” 

Ale hanya menatap datar adiknya itu. “Udah selesai?” tanyanya yang langsung mendapat decihan dari si bungsu. “Yang gila itu kamu, Alu. Ibu lagi sakit malah main musik keras-keras. Otaknya dimana? Gak dipake, hah?!”

Alu yang memang tak terima itupun membantah, mengeluarkan argumen yang begitu masuk akal. “Aku ngelakuin gitu kan karena ada sebabnya. Kakak lupa kalo aku minggu depan ada lomba musik?! Kalo gak ada, aku juga gak bakal ngelakuin hal itu, kali.”

Ala yakin bahwa mereka tidak akan menemui ibu juka begini caranya. “Udah-udah, gak usah ribut. Kasian ibu yang udah nunggu,” lerainya. 

Alu mendecakkan lidahnya. “Lalu, sound ku gimana?”

Ale mengangkat bahunya tak peduli. “Pikir sendiri,” jawabnya yang sudah berbalik badan bersama Ala.

***

“Ibu …” Alu langsung menghambur memeluk ibunya. 

Sedangkan Ale cemberut melihatnya. “Dih, sok,” gumamnya pelan. Ala sendiri mengikuti jejak adiknya yang memeluk ibunya. 

“Kok kalian lama?” tanya ibu yang sudah tidak memeluk lagi keduanya. 

Ale dan Alu saling memandang. Mengeluarkan aura persaingan diantara keduanya. 

“Biasalah, Bu, rapat penting,” jawab Ala seenaknya. Sang ibu yang sudah mengerti itupun hanya menganggukkan kepalanya mengerti. 

Ibu kemudian memberi kode pada ketiga anaknya agar mendekat. Dengan patuh, mereka bertiga pun duduk di sisi kanan dan kiri sang ibu. 

“Alena, Alana, dan Aluna, putri-putri ku yang amat cantik.” Entah kenapa, Ale tidak menyukai pembicaraan ini. Jika bisa, dia lebih memilih untuk keluar dan kabur. Aura disini tidak menyenangkan, membuat Ale takut akan kehilangan.

“Kau tau, ibu sangat mencintai kalian bertiga. Ibu rasa, kalian sudah cukup dewasa.” Sang ibu menoleh kearah Ale. “Ale, putri sulungku, jaga dan rawat adek-adek mu ini. Mengalah lah, jangan egois. Akan tetapi, jangan lupa untuk sesekali egois.”

Lantas ibu menoleh kearah Alana Cintya Wijaya, putri tengahnya. “Alana, kau adalah penengah bagi Kakak dan Adekmu. Dukung terus Kakak mu dan kasihi Adekmu. Tapi, jangan lupa, kau juga harus mengasihi dirimu sendiri.”

Yang terakhir, ibu menatap Alu. “Dan untukmu, Aluna. Dengarkan kata-kata Kakakmu. Jangan membantahnya. Serta, jangan lupakan tentang kata hatimu.”

Berikutnya, nafas ibu mulai tersengal. Membuat mereka bertiga panik bukan main. Ale segera mengambil ponsel pintarnya untuk menelpon ambulans, sedangkan Ala dan Alu di samping sang ibu. 

Tangisan Alu terdengar, membuat Ale semakin panik. “Cepat, Kak, telpon ambulans sekarang,” seru Ala yang ikutan panik. 

Ale tak menjawab, dia fokus dengan ponselnya. Sialan, umpatnya dalam hati. Merasa sia-sia, dia pun berinisiatif untuk berlari keluar mencari bantuan. Untungnya dia berpapasan dengan mang Apip, tetangga samping belakang rumahnya itu. 

“Mang Apip, tolongin ibu saya, Mang,” ujar Ale dengan suara ngos-ngosan. 

“Ibu Neng Ale teh, kenapa?” tanya mang Apip. Melihat Ale yang masih ngos-ngosan, mang Apip pun menyodorkan air mineral yang baru ia beli tadi. “Ini, Neng, minum dulu.”

Ale menggeleng. “Ibu … ibu sakitnya kambuh lagi, Mang. Tolong anterin ibu ke rumah sakit,” ucapnya setelah berhasil mengatur nafasnya. 

Mang Apip mengangguk mengiyakan. “Ya udah, Neng Ale duluan aja, saya mah mau ambil motor dulu.”

Ale kemudian pergi berlari ke rumahnya. Tepatnya di kamar sang ibunda berada. Dari luar, tangisan Ala dan Alu terdengar sangat jelas. Dengan sedikit bergetar, Ale melangkahkan kakinya untuk masuk.

Satu hal yang Ale tau, bahwa ibunya memilih pergi. Pergi meninggalkannya dan saudara-saudaranya. Ibunya lebih memilih untuk menyusul sang ayah yang lebih dahulu pergi ke pangkuan Ilahi

***

Setelah tujuh hari kematian ibunya, Ale masih belum menemukan tujuannya. Disinilah dia sekarang, di atas rooftop.

“Sendiri mulu,” celetuk Leo yang baru saja tiba. Laki-laki itu duduk tepat di samping Ale. Ale menoleh, menatapnya sekilas tanpa minat. “Lo masih berduka?” 

“Pake nanya,” jawab Ale ketus. 

Leo menghela nafasnya panjang. “Gue gak ngelarang lo buat berduka, tapi, lo harus inget kalo lo punya dua adek yang harus lo tanggung.”

Ale menatap Leo intens. “Thanks,” jawabnya singkat. Ya, apa yang dikatakan Leo memang benar adanya. Sekarang ini, dia memiliki dua tanggungan. Setidaknya, jika dia tidak bisa kuliah, maka adiknya harus bisa. Ya, harus bisa. 

“Thanks aja, nih? Gak ada hadiah atau apa gitu?” tanyanya sembari tertawa kecil. 

Ale mendecakkan lidahnya. “Pamrih lo.”

***

Ale tersenyum senang melihat email di ponselnya. Dia diterima kerja di cafe. Ah, bahagia sekali dirinya. 

“Ala …!! Alu …!!” panggil Ale pada kedua adiknya. Ala berjalan kearahnya dan menatapnya dengan penuh tanya. “Panggil Alu, kita makan martabak bersama.”

Ala segera berlari memanggil Alu setelah Ale mengangkat martabat yang sudah dibelinya tadi. Beberapa saat kemudian, Ala kembali bersama Alu. Mereka semua duduk bersila di samping Ale. 

“Tumben beli martabak, Kak,” ujar Alu ditengah-tengah acara mengunyahnya. 

Ale menelan martabaknya. “Ya, gapapa, lah, sekali-kali. Kenapa? Kamu gak suka sama martabaknya?” 

Alu menggeleng cepat. “Bukan, hanya heran saja, perasaan ku ultah mu masih lama, deh,” jawabnya. 

“Yaa, hanya ingin aja.” Ale kemudian menatap Ala dan Alu secara bergantian. “Ala, Alu, mulai sekarang kalian semua berhemat, ya? Kakak bakalan kasih kalian uang bulanan. Kalo bener-bener penting banget, baru minta lagi. Tapi, kalo kalian ketauan bohong, harus siap terima konsekuensinya.”

“Apa konsekuensinya dan berapa budget per-bulan nya?” tanya Ala

Ale terdiam sejenak. “Pokoknya, setiap awal bulan, Kakak akan transfer dan itu sebulan harus cukup. Dan buat konsekuensinya, kakak bakalan kasih uang press. No jajan-jajan, paham?!”

Alu mendengus mendengarnya. “Pelit banget, si, jadi orang,” komentarnya.

“Biarin. Lagian, Alu, kita harus berhemat demi masa depan. Kakak harap, kalian bisa menggunakan uang itu dengan bijak, kalau ada sisa, ditabung, jangan buat jajan-jajan gak jelas,” nasihat Ale kepada kedua adiknya. 

***

Ale menghela nafasnya panjang. Setelah dari cafe, dia akan langsung ke rumah majikannya untuk mem-private anak dari majikannya itu. Uang yang dikumpulkan Ale memanglah tidak seberapa. Namun, dari dulu, ibunya selalu mengajarkan bahwa sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. 

Ale percaya, uang jerih payahnya ini mampu untuk membuat kedua adiknya mengenyam bangku kuliah. Dan, dirinya juga, karena sekalipun tertunda, dirinya tetap memiliki keyakinan bahwa dia bisa kuliah di fakultas yang ia inginkan.

Ponselnya berbunyi, ternyata Alu menelponnya. Ale segera menekan tombol hijau untuk menjawabnya. 

“Halo, assalamualaikum, ada apa?” tanya Ale di teleponnya. 

Wa’alaikumsalam, kak, bisa tolong transfer uang, gak? Aku lagi butuh mendadak, please … Uang transferan mu udah habis, ya, ya, ya ….(?)”

Ale mengernyitkan keningnya. “Buat apa?” 

“Ini, temen-temen ngajak nonton bioskop. Malu, kak, kalo aku gak ikut,” jawab Alu di seberang. 

Hembusan nafas terdengar. “Alu, kamu gak nonton itu gak bakalan mati, ngerti?! Sekarang, mending kamu pulang aja, daripada nonton, nanti malah ngabisin duit.”

Alu mendecih dan langsung menutup telponnya. Ale sendiri yang baru saja melihat bahwa panggilan telponnya mati itupun hanya mengangkat bahunya tak peduli. Gadis itu langsung pergi untuk job keduanya.

***

Alu memajukan bibirnya kesal. Menatap temanya dan menggeleng pelan. “Gak bisa, kakak gue gak ngijinin,” ujar Alu setelah mematikan saluran ponselnya. 

Dea menghela nafasnya panjang. Sebuah ide muncul ketika dia melihat seorang perempuan menggandeng tangan anak yang lebih kecil. “Lo minta aja sama kakak lo yang kedua, kak Ala,” usulnya. 

Alu tersenyum senang. Dengan segera, gadis itu menekan nomor kakaknya, Ala. “Assalamualaikum, kak.”

Wa’alaikumsalam, apa?” tanya Ala to the poin. 

Alu mendengus pelan. Gak kak Ale, kak Ala, semuanya pada sok cool, batinnya kesal. 

“Kak, pinjem uang bentar, yaa? Soalnya ini penting banget, kak, menyangkut hidup dan mati,” jelasnya dengan hiperbola

“Emang sepenting itu, ya? Penting apa, sih?”

“Pokoknya ada. Cepet, kak, yaa, please,” mohon Alu.

Decakan lidah terdengar dari seberang. “Nanti aku transfer,” jawabnya yang berhasil membuat Alu memekik kegirangan. 

“Aaa …!! Makasii, kak.” Panggilan telepon di matikan, Alu kemudian menatap Dea dengan senyum lebarnya. 

“Gimana? Berhasil?” Anggukan kepala kepala menjadi jawabannya.

***

Ale menghela nafasnya kasar. Hilang lagi? Oke, ini sudah kelima kalinya uang yang ia simpan di dompet hilang. Memang tidak seberapa, akan tetapi tetap saja, itu membuatnya kesal setengah mati. 

Untungnya, uang yang ada di dompet itu adalah jatahnya untuk jajan, jadi tidak terlalu berpengaruh. Jangan salah, setelah kerja part time di tiga Bu tempat, Ale selalu menyisihkan uang itu. 

Uang yang Ale dapat selalu ia bagi tiga bagian. Yang pertama adalah untuk harian untuk mereka bertiga. 

Bagian kedua, dia akan menyisihkan nya untuk kebutuhan pendidikan dua adiknya. Ia boleh membiarkan dirinya sendiri kalah dan tidak mengenyam pendidikan yang cukup. Tapi, dia tidak akan membiarkan adik-adik mengalami hal itu. Bagian inilah yang mendapat sisihan uang terbanyak. 

Sedangkan bagian ketiga, adalah bagian yang untuk dirinya. Dia ingin kuliah dan mewujudkan cita-citanya. Jika memang ada sisa dari uang itu, dia akan memasukkannya ke sini. Meski sulit, dia tidak akan menyerah. Toh, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

Oke, untuk sekarang, Ale akan mencari tau tentang siapa yang mengambil uangnya itu? 

Ketukan pintu terdengar. “Masuk,” ujar Ale mempersilahkan. Ala masuk dan langsung duduk di samping kakaknya itu. “Kenapa?” 

“Gapapa, cuma agak capek aja,” jawabnya singkat. “Oh ya, Kak, emang Alu tuh ada acara apa sih di kelasnya? Kok tiap minggu minta uang mulu.”

Ale mengerutkan keningnya mendengar perkataan Ala. “Setahuku gak ada, sih, kalo ada ya pasti minta ke aku dong uangnya. Dia minta sama kamu?”

Ala mengangguk. “Iyalah, makannya itu aku tanya, dia lagi ada kerkom atau projek apa? Kok setiap minggu minta uang,” jelasnya. 

Ale hanya diam. Memikirkan sesuatu yang Ala tidak tau apa itu. “Panggil Alu sekarang, dia lagi di kamar ‘kan?” Mengangguk patuh, Ala pun pergi untuk memanggil Alu. 

***

“Ada apa, Kak?” tanya Alu yang saat ini sudah duduk di depan Ale, kakaknya. 

Ale menatapnya intens. Mencoba mencari tau sesuatu dari gerak tubuh adiknya. “Kau meminta uang pada Ala? Untuk keperluan apa? Kenapa gak minta sama aku aja?” tanya Ale bertubi-tubi. 

Alu gelagapan. “Bentar, sebelumnya ada projek kelompok, Kak, dan itu semua gak gratis alias harus iuran, Kakak pasti tau itu ‘kan?” 

Ale menaikkan alisnya sebelah. “Seriously?” Alu mengangguk kann kepalanya. Menoleh menatap Ala, Ale kemudian memerintahkannya untuk mengambil ponsel. “Tolong ambilin hp ku di kamar.”

Patuh, Ala langsung berdiri dan pergi untuk mengambil ponsel milik kakaknya itu. Sembari menatap Alu dengan penuh intimidasi. “Yakin, nih, buat projek kerkom? Bukan buat yang lain?” 

Alu menatapnya sengit. “Kakak gak percaya sama aku? Kakak pikir aku bohong? Kok Kakak su’uzon banget, sih, kalo sama aku,” ujarnya tak terima. 

Masih dengan sikap tenangnya juga tatapan dan aura yang intimidatif, Ale menjawab, “Gak nuduh atau su’uzon, cuma … yah, pengen ngetes kamu aja, siapa tau kamu orangnya plin-plan, ya ‘kan?”

Kemudian, Ala datang dengan membawa ponsel di tangannya. Mendekat menghampiri sang kakak untuk memberikan ponsel yang ia bawa. Setalah itu, gadis itu langsung duduk di tempatnya semula. 

Ale menekan beberapa nomor yang apabila digabungkan menjadi nomor telepon seseorang. Menekan tombol hijau untuk memulai panggilan. Tak lupa, gadis itu juga me-lose speak panggilannya. 

Assalamualaikum, bu,” ujarnya dengan nada ramah, namun tidak dengan kedua bola matanya yang masih menyorot kearah Alu. 

Wa’alaikumsalam, ada apa, ya?” tanyanya di seberang. Alu tau persis siapa yang sedang ditelpon kakaknya itu. Mati gue, umpatnya dalam hati. 

“Permisi, bu, maaf menganggu, saya izin bertanya, apakah benar, pada akhir-akhir ini ada prokja yang harus diselesaikan atau kerja kelompok?” 

“Waduh, setau saya gak ada. Soalnya kalau yang bener-bener formal itu belum ada dan dari laporan guru mapel lainnya juga gak ada. Ada apa, ya?”

Senyuman Ale mengembang seketika. Matanya menyorot tajam kearah adil terakhirnya itu. “Oh, tidak ada, bu. Baiklah kalau begitu, terimakasih dan maaf sudah menganggu waktunya.” Panggilan ditutup. 

See?” Kepala Alu ditundukkan. “Apa yang sedang kau sembunyikan, Adekku tersayang? Kau sepertinya meremehkan kakakmu ini,” tutur Ale. 

Ala hanya diam melihat. Selama keadaan masih kondusif, dia akan tetap diam. Bahkan jika Ale sudah mengamuk dan menghukum Alu, Ala tidak akan ikut campur. Akan tetapi, jika memang sudah kelewat batas, maka dengan terpaksa, Ala ikut andil. 

“Katakan yang sebenarnya sebelum aku benar-benar menghukum mu, Aluna Citra Wijaya,” titah sang kakak.

Alu melirik kearah Ala guna meminta bantuan. Namun yang dilirik hanya mbuang muka. Dengan terpaksa, gadis itu mengakui. “Waktu itu, aku sama temen-temen main truth or dare, aku kalah dan aku harus nanggung mereka buat jajan, nonton, dan banyak lagi selama lima hari,” jelasnya dengan suara kecil. 

Ala menatap Ale, menilai respon dari kakaknya itu. Wajah Ale sudah memerah menahan amarah. “Sekali-kali pinter dikit bisa, gak, sih?! Kalo gak pinter, setidaknya jangan bego, lah! Cari uang, tuh, susah, Dek. Capek, kesel, apalagi kakak masih sekolah juga. Belum tugas, bisa mikir, gak?!”

Ale mengambil nafas dalam-dalam, menghembusnya secara perlahan guna mengontrol emosinya. “Kakak cari uang mati-matian, terus kamu hamburin uang sehidup-hidupnya?! Gila, ya?!”

“Ya, itu bukan salah aku, dong.” Alu berdiri, merasa tak terima karena disalahkan. “Itu salah Kakak aja yang gak becus. Kakak mikir, gak, sih? Uang segitu itu buat makan aja gak cukup, terus Kakak dengan bodohnya minta aku buat ngehemat itu?! Are you crazy, Sis?”

Why not? Ala aja bisa, kenapa kamu enggak? Dia juga sama-sama masih sekolah, kamu juga, gak ada bedanya ‘kan?” 

“Ya, itukan Kak Ala, bukan aku. Udah, ah, mau tidur aja, gak guna juga ngomong sama orang yang sok capek. Bye!”

Alu pergi menyelonong, meninggalkan kedua kakaknya. Alu menggelengkan kepalanya pelan, sedangkan Ale memijit pelipisnya. 

“Ala,” panggil Ale, Ala menoleh kearahnya.

“Ya, Kak?”

“Bisa kakak minta tolong bentar, gak?” tanyanya, tanpa babibu, Ala langsung menganggukkan kepalanya. Ale mengeluarkan beberapa uang kearah Ala. 

“Kasih ini ke Alu buat kebutuhannya. Tapi sebelum itu,” Ale mengambil lagi uang dari dompetnya. “Buat jajan kalian, kamu harus jajan sama Alu ke tempat pinggiran.”

Ala mengangguk patuh. Ia sudah tau apa rencana Ale untuk membujuk serta membawa adik mereka agar tidak menjadi orang yang boros.

***

Alu melihat sekelilingnya. “Kita mau jajan atau mau mungutin sampah, sih?” tanyanya pada Alana, sang kakak kedua. 

“Udah, jangan bawel,” jawabnya singkat, Alu menatapnya kesal. Kakaknya yang satu ini memang tidak memiliki rasa humor, ya? Berbeda sekali dengan kakak tertua mereka.

Alu kemudian tertabrak sosok anak kecil yang lusuh. Membantunya berdiri, Alu kemudian mengelus kepala gadis cilik itu meski ada sedikit rasa jijik karena kotor. “Lain kali hati-hati, ya?” 

Bocah cilik itu menganggukkan kepalanya. “Telimakasih, Kak,” setelah, gadis cilik itu kembali berlari, Ala menduga bahwa mereka sedang bermain kejar-kejaran. 

Ala tersenyum tipis. “Mereka tidak punya banyak uang,” ujarnya yang berhasil membuat Alu menoleh. “Mereka juga hanya dari kalangan biasa. Bahkan aku bertaruh jika anak kecil tadi itu tak sekolah.”

“Lihatlah, Alu, banyak dari mereka yang lebih kekurangan, namun tetap tertawa menikmati hidup.” Ala menatapnya intens. “Kau tidak kekurangan, kak Ale mengusahakan apapun untuk kita. Kita tidak perlu bekerja, yang kita perlukan adalah bagaimana cara kita bijak dalam mengelola uang dan waktu serta belajar dengan giat.”

“Bersyukurlah karena kita tidak perlu mengutang saat butuh makan,” imbuhnya kemudian. 

***

Ale mengernyitkan keningnya heran. “Kau apakan dia?” tanyanya pada Ala yang saat ini tengah berkutat pada laptopnya. 

Ala menghentikan tangannya yang sedang menari di atas keyboard. “Adalah,” jawabnya singkat. 

“Alana Cintya Wijaya, terimakasih.”

Ala diam, detik berikutnya dia berkata, “Bukankah kita saudara?” Yang berhasil membuat senyuman Ale semakin mengembang.

***

“Satu, dua, tiga.”

Ckrek

Suara kamera terdengar. Saat ini, Ale tengah berfoto bersama dengan Ala dan Alu. Mereka semua selesai wisuda. Pasca kejadian itu, Alu menjadi semakin rajin dan sangat hemat. Ale masih ingat saat Alu melarangnya untuk mentraktir kedua adiknya karena di terima di universitas ternama dengan beasiswa. Uang yang ia kumpulkan sedikit-sedikit dari gajinya digunakan untuk biaya hidup adiknya di sana. 

“Kakak gak nyangka kalo kalian bisa wisuda bareng, apalagi Alu, kakak bangga banget sama kamu. Sama Ala juga,” ujar Ale dengan menggebu. 

“Betul, tentu saja ini gak lepas dari usaha Kakak yang mati-matian kerja dan nyisihin uang buat kita. Yah, sekalipun beasiswa ‘kan juga tetep bayar. Pokoknya, makasih buat Kakak ku tercinta ini …!!” seru Alu 

Ale tertawa mendengarnya. “Kalo udah kerja, uangnya ditabung sebagian, jangan boros, oke?” nasihat Ale pada kedua adiknya. 

Aye aye capitan.”

Ya, berkat manajemen keuangan Ale yang baik, kedua adiknya bisa kuliah dan hidup berkecukupan. Oh, jangan lupakan bahwa Ale sekarang adalah seorang bos martabak di Jakarta. Semuanya tercapai, dan dia harap, ibu dan ayahnya bangga melihatnya. 

Ayah, ibu, Ale berhasil. Terimakasih, Yaa Rabb.

What’s your Reaction?
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Apakah anda menyukai artikel ini ?

raaa

.....

Add comment